Selasa, 15 Agustus 2023

Tulang Punggung Ibu

Aku tidak pernah menduga sama sekali akan secepat ini dipertemukan dengan jodohku. Usiaku 23 tahun saat aku memutuskan untuk menerima niat baik lelaki ini. Kami menikah sesuai syariat agama kami, dengan pesta yang diselenggarakan tidak begitu megah. Dan, pernikahan sejatinya tidak selalu tentang kebahagiaan, pernikahan juga kadang menemui lukanya. Kami sedang membalut luka itu, berharap ia segera sembuh tanpa bekas, tapi justru itu tidak mungkin untuk tidak berbekas.


Ibu saat hari bahagiaku, ia justru menangis sesenggukan di kamarnya. Aku tidak sengaja melihat peristiwa itu dan bohong jika pipiku tidak membentuk anak sungai karenanya. Aku melangkahkan kaki mendekati ibu. Ingin sekali aku memeluk beliau, peluk erat, tapi aku tahu diri ini sangat asing dengan adegan tersebut. Setelah duduk disamping ibu, aku beranikan diri bertanya perihal kenapa ia menangis disaat semua orang tertawa di hari bahagiaku? Lalu dengan mata yang sedikit sembab, ibu menjawab, "Nak, hari ini adalah hari terakhir ibu dan ayahmu bertanggung jawab atas dirimu, selanjutnya tugas ibu dan ayah akan dilanjutkan oleh suamimu", ibu kembali menumpahkan air matanya. Ibu lalu mengusap air mata itu dan berucap kembali, "Hatimu harus lapang, Nak. Kau harus menjadi air ketika suamimu adalah api, kau harus padamkan amarahnya dan jangan pernah sekali kali menciptakan api itu, setidaknya, Nak, sampai kau mengandung anaknya".

Perkataan ibu sangat jelas. Aku tidak habis pikir dengan ucapan terakhir ibu, "... setidaknya, sampai kau mengandung anaknya". Apakah selama ini itu yang ibu rasakan menikah dengan ayah? menanggung segala bentuk kesakitan dan bertahan demi aku dan adik-adikku, anaknya?
Sejak percakapan hari itu, aku mulai banyak merenung-renung kisahku bersama ibu, kisah keluarga kami. 

Ibu adalah perempuan yang tidak pintar. Ibu hanya lulusan SLTA. Itupun aku lupa ia lulus atau tidak. Namun ibu, ia adalah perempuan hebat yang membuatku bersyukur lahir dari rahimnya. Ibu perempuan kuat, bahkan saat hatinya berkali-kali dilukai dan dipatahkan oleh ayah, ibu tak pernah mau meninggalkan ayah, meski opsi itu bisa saja ia ambil jika ia mau.

Ayahku, ia laki-laki yang aku harus katakan bahwa ia juga tak kalah hebat dari ibu. Tapi, sejatinya laki-laki memang harus begitu, bukan?
Sampai aku dewasa ini, memoriku tentang ayah dan ibu tidak pernah bisa aku lupakan. Memori paling membahagiakan sampai yang paling menyakitkan, aku bahkan mengingat detailnya. Dan, memoriku tentang ayah, adalah sangat menyakitkan.

Setelah merenung cukup lama, aku tersadar dan baru menyadari bahwa selama ini aku hidup dibawah ketiak ibu. Saat aku sekolah, ibu yang selalu memberikan uang jajan untukku dari hasil ayah berdagang, yang mana dagangan tersebut, ibu yang memasak dan menyiapkan segala halnya.  Padahal aku sangat tahu, pekerjaan rumah itu tidak sedikit, tapi ibu bisa melakukan semuanya tanpa keluhan-keluhan yang terdengar oleh telingaku. Aku bisa kuliah juga karena uang yang ibu kirimkan setiap minggu ke rekeningku, yang aku tahu, lagi-lagi pasti uang dari hasil berdagang yang mana dagangan dan segala keperluan berdagang, ibu yang menyiapkan, ayah tinggal terima beres.

Lalu, bukankah ayah ikut berjuang bersama ibu demi aku? Tidak. Ayah seringkali mengabaikan tugasnya, baik sebagai ayahku, maupun sebagai suami dari ibuku. Sering kali ibu yang melakukan semua tugas itu, sedang ayah dimana? ayah sibuk mengeluh tentang hidupnya yang kurang beruntung. Larut dalam mimpi-mimpi setiap harinya, terbangun, lalu menyendokan nasi ke mulut jikalau lapar, meneguk bergelas-gelas air jikalau haus, itulah ayah. Ayah lupa dia telah menikah dengan seorang perempuan yang kodratnya perempuan itu dilindungi dan dikasihi oleh suami, bukan yang paling depan untuk melindungi dan mengASIhi. Ayah juga lupa bahwa ia melahirkan aku. Memang betul wanita itu kodratnya hamil, melahirkan, dan menyusui. Tapi ibuku, ia mengemban satu lagi kodrat, yaitu Tulang Punggung keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulang Punggung Ibu

Aku tidak pernah menduga sama sekali akan secepat ini dipertemukan dengan jodohku. Usiaku 23 tahun saat aku memutuskan untuk menerima niat b...